Langsung ke konten utama

Genangan


Bagian paling pagi dari kita adalah bahwa kamu dan aku sama-sama suka menikmati hidup di ketiak senja. Di suatu hujan, kamu menjadi sedikit lebih puitis dari biasanya.

"Sayang, apa kamu makan bunga?" Aku tertawa, tak kuat ingin muntah. Kami tak pernah sayang-sayangan.

"Nggak?" Jawabku, masih fokus scroll Instagram.

"Heran." Dia melirik hp ku, lalu mengintip mataku. "Kok kamu cantik terus." Diam-diam mengharapkan reaksiku, tak pernah kuberikan.

Lalu di luar masih hujan, meninggalkan genangan.

***

Kalau bukan Tuhan, aku tak tahu apa yang mempertahankan pernikahan ini. Aku tak pernah sedetik pun tidak mencintainya. Dia pun begitu, mati-matian mencintai, entah siapa, yang bukan aku.

Hari pertama adalah saat paling menyakitkan. Aku mati rasa, bukan sedih, bukan bahagia. Aku menangis hingga detik ke sekian sebelum akad nikah. Lalu tangis itu berulang hingga tahun-tahun berikutnya. Aku menggangguk saat dia ingin jadikan pernikahan ini sebatas pertemanan.

***

"Ada apa?" Suatu subuh aku bertanya. Dia kutemukan murung di meja makan. Kami seislam tapi hanya ada makmum di rumah ini, aku tak punya imam.

"Dia menikah bulan depan." Dia tersenyum sedih.

Tak tahu harus katakan apa, aku hanya ber-"hmm" lalu duduk bersebrangan.

Aku menuangkan air minum dan mengupas 2 buah apel. Udara di sana lembab, sedikit menyesakkan. Aku begitu sulit untuk bernapas.

"Kenapa kamu begitu mencintainya?" Sesuatu yang kupikir hanya terucap di kepalaku, tiba-tiba keluar begitu saja dari mulutku. Otak dan hatiku gagal bermusyawarah.

"Hmm. Mungkin karena dia cantik dan baik dan ramah dan.." Dan lain-lain yang tak ingin kuingat. Aku tertawa kecil.

Kami lalu menikmati camilan sehat kami sendiri-sendiri. Ada 5 sampai 6 menit sunyi yang panjang di sana. Langit Jakarta bertambah terang.

"Jadi kenapa kamu begitu membenciku?" Lagi-lagi aku gagal menahan pertanyaan itu keluar dari otak kecilku.

Sesaat dia terlihat kaget, kemudian tersenyum. Pertanyaanku menguap ke udara, tak terjawab.

***

Orang tua kami tak sabaran ingin gendong cucu. Aku selalu mengelak, kami belum mau. Dia bahkan tak pernah berusaha untuk menjelaskan.

Sungguh aku tak pernah begitu kesepian dalam hidupku.

"Apa kita bercerai saja?" Aku mengirimnya pesan malam-malam. Ceklis satu. Dia jarang membaca pesanku, apalagi membalasnya. Mungkin aku tak pantas balasan?

"Aku pulang ke rumah abah :)" Aku kirim pesan lagi, diakhiri dengan emoticon tersenyum. Jarak kami hanya sejauh 2 pintu kamar.

Hari berikutnya ceklis dua. Bajuku sudah rapi di lemari rumah, percis seperti saat aku masih lajang. Orang tuaku tak bertanya apa-apa, pikirnya hanya berkunjung.

***

Di minggu ke tiga Tuhan menumbuhkan rasa kangen di hatinya.

"Bisa keluar sebentar?"  Sesederhana itu pesan singkat darinya. Dia tak pernah mengirimku pesan duluan. Aku ketakutan. Mungkin dia sudah bawa surat cerainya.

Aku keluar kamar menemukan dia terduduk dengan kaos oblong hitam favoritnya, masih terlihat sama.

Hari itu pertama kalinya aku menjawab "tidak" untuk pertanyaannya, "Mau ikut pulang hari ini?"

***

Aneh. Dia mulai banyak bertanya padaku, tentang hal-hal personal. Seperti hari ulang tahun, makanan favorit, hewan yang kubenci, tipe ideal, dll.

Seperti dia mencoba mengenalku dari awal? Seperti kami dalam tahap perkenalan lagi yang sebelumnya kami lewatkan. Aku sungguh menghargainya. Nyatanya jarak itu baik untuk kami masing-masing.

Saat aku setuju untuk dibawa pulang ke rumah kami, senyum di wajahnya tergambar begitu lebar.

Memulai pernikahan dari awal lagi, aku seperti anak SMA di awal pubertas. Aku tertawa setiap kali dia bercanda, bahkan candaannya tak lucu-lucu amat. Kami salat bersama, pertama kalinya kulihat setelah tahun ke 3 pernikahan. Dia menyatakan cintanya, aku bisa mendengar degup jantungku gugup. Kami tak pernah sedekat itu.

***

Semua doa terjawab seketika. Bukan hanya satu atau dua, tapi semuanya.
Sementara di luar masih hujan, meninggalkan genangan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Batas

  Saya menyadari betapa banyaknya batasan ketika kita ingin menulis karya sastra. Itu membuat saya merasa terkekang. Seperti bagaimana sebuah tulisan tak boleh mengandung SARA. Apa yang dimaksud di sini? Apakah karya seperti Da Vinci Code itu menurut aturan orang Indonesia dianggap SARA? Sebab di novel tersebut disinggung tentang keturunan Yesus yang masih hidup sampai masa ini. Kemudian apakah apabila kita menceritakan pembunuhan yang didasarkan pada kesalahan interpretasi pembunuh terhadap isi ayat-ayat dalam kitab tertentu itu juga SARA? Padahal plot cerita seperti ini di Negara lain malah sampai dibuat film. Lalu sebuah tulisan juga tak boleh mengandung unsur LGBTQ. Saya tidak membenarkan apalagi menormalisasi dan meromantisasi LGBTQ. Namun menurut saya bila sebuah karya menceritakan hal baik dari itu, misalnya seseorang yang berusaha keras untuk menyembuhkan diri (maaf, saya memang menganggap ini sebagai penyimpangan yang seharusnya bisa disembuhkan alias penyakit) dari ...

Pura-pura Sibuk, Sibuk Berpura-pura

 Assalammualaikum. Selamat malam. Menulis di sini untuk kasih update bahwa kehidupan saya terutama setelah menjadi ibu berubah berratus-ratus derajat sibuknya. Sesibuk itu? Iya, sesibuk itu. Kamu belum ngerasain ya yang namanya pingin 'me time' mesti melek tenga malem hanya demi nonton movie favorit misalnya, karena kalo bukan waktu tidur, ya...emang nggak ada waktu lain. Saya nggak anggap anak sebagai beban, tapi kalo dia bangun bahkan kalo dia tidur, perhatian dan seluruh jiwa raga saya hanya fokus ke dia. Dia lagi aktif banget belajar jalan. Jarang banget duduk lama, itungan detik. Sisanya jalan-jalan yang masih sempoyongan, belum ajeg dan dikit-dikit atu atau kejedot. Inget anak tuh bukan pemberian tapi titipan. Maka nggak bole ngasal pengasuhannya. Lalu saya masi berusaha untuk produktif dalam hal lain. Saya masi aktif bagiin info-info tentang pendidikan di IG, membaca dan meriviu buku di YouTube, jualan buku dan makanan sehat, dan yang udah diimpikan sejak lama adalah men...

KACAMATA

Mengenai apa-apa yang akan saya tuliskan di sini, saya sulit menemukan judul yang tepat. Awalnya saya hanya baca kutipan Ir. Soekarno dalam buku yang beliau tulis judulnya “Sarinah”. Bunyi kutipannya adalah: “Tidakkah banyak laki-laki yang mendewi-tolol-kan istrinya?” – Ir. Soekarno. Sebagai seorang yang pernah menikahi 9 istri, tidak sedikit yang menganggap beliau sebagai womanizer. Nah dengan buku “Sarinah” ini, tuduhan tersebut terbantahkan. Saya juga belum baca bukunya, tapi saya baca review-review nya di internet. :D Selain karena baca ini, saya juga akhir-akhir ini mengikuti salah satu feminis yang cukup aktif dan vokal di sosial media. Jadi sedikit banyak menginspirasi saya untuk menuliskan sesuatu tentang perempuan, terutama dari kaca mata laki-laki. KACAMATA PEREMPUAN Satu hal yang saya rasa sangat berbeda antara laki-laki dan perempuan adalah bagaimana kita saling mempengaruhi secara seksual? Saya agak sulit membahasakannya. Yang saya maksud adalah mis...