Sekabut pagi, ramadhan mengembun,
jendela kaca menggigil putih-putih. Di luar sana kupu-kupu mengejar matahari. Bulan
bersembunyi, terbelah dan patah di hati penyair. Lengan memangku harap untuk
cinta, bernama engkau.
***
“Assalammualaikum.” Sapamu dengan
senyum berderet gigi dari pipi ke pipi.
“Waa'alaikumussalam.” Aku menjawab,
menatap mata di balik kaca.
Bunga di ujung kerudungmu mekar
malu-malu, meneriakan jarak yang tak kasat. Kalau boleh kuintip sedikit, di
hatimu yang luas itu ada siapa?
Suatu hari....
“Kalau ada yang menganggap kepemimpinan
itu tidak penting, maka salah besar. Ini yang membuat Khalifah Utsman bin Affan
dan Ali bin Abi Thalib terbunuh. Bahkan ini pula yang menyebabkan para sahabat
berperang.”
Katamu di antara lingkaran segelintir ababil, dengan suara jernih
dan bersih dari angka-angka, juga tak tercemar kecurangan. Cantik sekali.
Mengingat senyum dan semangatmu, semoga sahur nanti aku lupa mencuci muka.
***
“Pulang cepat?” Kamu bertanya.
“Iya. Kamar masih berantakan.
Selalu.” Jawabku. “Inginnya punya istri solehah.” Halaaah. Kode
keras begitu. Apa tak sampai?
“Diaminkan deh.” Lalu kamu tertawa
kecil.
Tetap di dadaku, di bawah seribu
bulan, perasaan tak pernah segemuruh ini. Kau sungguh ajaib. Waktu memilihmu,
entah kapan. Sementara di teras belakang, ada hujan dijatuhkan langit.
Malam menemukan bintang jatuh. Aku masih
terjaga. Orang bilang insomnia, gangguan tidur. Iya, yang ganggu itu kamu. Selamat
merayakan rindu.
***
Komentar
Posting Komentar