Tiga jam menuju
hari Senin. Selamat :D
(Kalau ternyata
saya post di hari Selasa atau hari
lainnya, mungkin malam Senin saya ketiduran hehe.)
Saya sempatkan
untuk nulis sedikit. Awalnya mau nulis tentang depresi dan mental health. Ternyata saya butuh lebih banyak waktu karena
kekurangan sumber. Jadi saya putuskan untuk tunda dulu dan ganti dengan ini.
Ini urutannya agak acak-acakan.
Mungkin nanti saya rapikan dan tambahkan bila perlu.
Enjoy :)
***
Tulisan kali ini
tentang seorang diplomat yang cerdik, pendebat ulung, santri yang kritis dan
ulama yang moderat. Panggilan untuk beliau adalah “The Grand Old Man”,
barangkali paling dikenal karena kejeniusannya menguasai banyak bahasa yaitu Melayu,
Bahasa Minang (bahasa ibunya), Belanda, Arab, Inggris, Jepang, Prancis, Jerman,
Mandarin, Latin, Jepang dan Turki. Ia juga menguasai beberapa bahasa daerah,
seperti Bahasa Jawa dan Sunda. Yep, ini tentang Haji Agus Salim.
Yang saya tulis di
sini sebagian besar bersumber dari buku yang diterbitkan Gramedia berjudul “Haji
Agus Salim, Diplomat Jenaka Penopang Republik”. Bukunya jauh di rumah, jadi
saya tulis seingatnya dan mungkin ditambah dari sumber lainnya di dunia maya.
Agus Salim lahir
dengan nama Mashudul Haq (pembela kebenaran). Lahir di Koto Gadang, Sumatera
barat pada hari ke 8 Oktober 1884 dari pasangan Soetan Salim dan Siti Zainab. Paman
beliau adalah ulama terkenal Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawiseorang guru
terhormat di Universital Harramain Masajidal dan seorang imam Mazhab Syafii’i
di Masjidil Haram. Agus Salim mengawali Pendidikan dasar di Europeesche Lagere
School (ELS), dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia.
Kehilangan
Iman
Agus Salim mengatakan
“meskipun saya lahir di keluarga Muslim tapi saya bersekolah di sekolah belanda
sejak kanak-kanak dan saya merasa mulai kehilangan iman ketika sekolah di
Belanda”.
Salim muda pernah
bertanya kepada seorang ulama. “Apakah Adam dan Hawa memiliki pusar?” Kemudian
dijawab oleh ulama tersebut bahwa Adam & Hawa memiliki pusar karena
keduanya manusia. Lalu Salim berkomentar “kalau punya pusar, sebagaimana halnya
kita, itu tandanya mereka dilahirkan oleh seorang ibu.” Sang ulama lalu tak bisa
membalas apa-apa.
Beliau mendalami
islam lagi ketika bekerja di konsulat Belanda untuk Jeddah, Saudi Arabia dan
banyak berguru pada pamannya, Syekh Ahmad Khattib. Saat di Mekah, HAMKA juga pernah
belajar kepada Agus Salim. Ia menasehati HAMKA agar tidak tinggal lama di
Mekah, sebab itu akan membuat seorang ulama tidak paham dengan kondisi
masyarakat tanah kelahirannya. Sehingga Hamka pulang dan mendirikan sekolah
Islam Modern pertama di Indonesia yang diberi nama SUMATRA THAWALIB.
Agus
Salim Mirip Kambing
Dalam rapat
Sarekat Islam (SI), Haji Agus Salim saling ejek dengan Musso, tokoh SI yang
belakangan menjadi orang penting dalam Partai Komunis Indonesia.
Muso memulai
ejekan itu ketika berada di podium. "Saudara saudara, orang yang
berjanggut itu seperti apa?"
"Kambing!"
jawab hadirin.
"Lalu, orang
yang berkumis itu seperti apa"
"Kucing!"
Haji Agus Salim
sadar sedang menjadi sasaran ejekan Musso. Haji Agus Salim memang memelihara
jenggot dan kumis. Begitu gilirannya berpidato tiba, dia tak mau
kalah."Saudara-saudara, orang yang tidak berkumis dan tidak berjanggut itu
seperti apa?" Hadirin berteriak riuh, "Anjing!"
Dalam sumber lain
diceritakan saat Agus Salim berpidato, para pemuda terus bersaut-sautan “mbek,
mbek, mbek”. Yang kemudian disilakan keluar oleh Agus Salim untuk mereka makan
rumput dulu di lapangan. Kira-kira gitu.
Mendidik
Anak Tanpa Sekolah Formal
Agus Salim
menganggap bahwa sekolah kolonial tidak mendidik anak-anak untuk jadi mandiri,
sehingga ia mendidik anak-anaknya sendiri. Pendidikan yang dimaksud dilakukan
bergantian oleh Agus Salim dan isteri sambil bermain atau ketika sedang makan.
Mereka sering
menyanyikan lagu-lagu yang liriknya diambil dari karya sastrawan dunia. Untuk
melatih kemampuan berbahasa, anak-anak diajak berbicara Bahasa Belanda dari
kecil, sehingga bahasa itu ibarat bahasa ibu mereka.
Pendidikan ala
Agus Salim tak semata-mata membuat anak pintar, namun juga memperhatikan
pertumbuhan jiwa mereka. Ia bersama istrinya, tak menginginkan anak-anak
terkekang oleh kehendak orang tua. Oleh karenanya, ia mengharamkan memberi
kualifikasi seperti “kamu nakal” atau “kamu jahat” kepada anak-anaknya.
*Ketika W.R.
Supratman memainkan lagu Indonesia Raya dengan biola, putri tertuanya Dolly –
yang ketika itu berusia 15 tahun, mengiringinya dengan piano. Sedangkan
putranya, Islam Besari Salim, terjun di dunia militer dan sempat menjadi atase
militer Indonesia di China.
Diminta
Tak Merokok, Haji Agus Salim 'asapi' Pangeran Philip
Salah satu acara
penting yang dihadiri Haji Agus Salim adalah saat mewakili Presiden Soekarno
dalam acara penobatan Ratu Elizabeth II sebagai Ratu inggris di Istana
Buckingham, pada tahun 1953.
Agus Salim
memiliki kebiasaan merokok kretek. R. Brash, duta besar Inggris untuk Indonesia
pada 1982-1984, yang mendampingi Haji Agus Salim saat itu meminta dia untuk
merokok sepuasnya di mobil dan berhenti sebelum memasuki gedung Westminster
Abbey.
Ketika acara
berlangsung Haji Agus Salim melihat Pangeran Philip yang masih muda (32 tahun)
waktu itu agak canggung menghadapi khalayak ramai yang hadir. Demikian canggung
sehingga lalai meladeni tamu-tamu asing yang datang dari jauh menghormati
peristiwa penobatan.
Untuk melepas
ketegangan sang Pangeran, Haji Agus Salim menghampirinya, mengayun-ayunkan
rokok kreteknya sekitar hidung sang pangeran itu sambil bertanya, "Paduka
(Your Highness), adakah Paduka mengenali aroma (bau) rokok ini?" Dengan
menghirup-hirup secara ragu-ragu sang Pangeran mengakui tidak mengenal aroma
rokok tersebut. Salim pun dengan senyum mengatakan: "Inilah sebabnya 300
atau 400 tahun yang lalu bangsa Paduka mengarungi lautan mendatangi negeri
saya".
Sang Pangeran pun
tersenyum dan dengan lebih luwes bergerak dan "meladeni" tamu-tamunya
dari jauh.
Guru
yang Tak Menggurui
Menurut pendapat
banyak aktivis muslim pra-kemerdekaan, Agus Salim merupakan mentor yang
menyenangkan. Selain ramah dan menggugah, Salim juga merupakan tipikal guru
yang membimbing. Ketika berdiskusi ia selalu menyerahkan kesimpulannya kepada
masing-masing lawan bicara. Mohammad Natsir salah satu murid binaannya pernah
menuturkan : “ketika sulit memperoleh jalan keluar dari sebuah permasalahan,
para pengurus JIB berpaling ke Agus Salim. Di depan orang tua itu mereka
memaparkan permasalahan. Setelah menyimak dengan cermat, giliran Salim yang
berbicara. Panjang lebar, dari semua aspek ia terangkan, namun tak menyinggung
solusi. Kemudian salah seorang pengurus JIB menyela : tapi mana jawabnya? Agus
Salim hanya merespons : “Jawab permasalahan itu ada pada Saudara-saudara,
karena ini persoalan generasi Saudara, bukan persoalan saya. Lihat anak saya
(sambil menunjuk anaknya yang masih kecil). Jikalau saya menggendongnya terus,
kapan ia berjalan? Biarlah ia mencoba berjalan. Terjatuh tapi ia akan beroleh
pengalaman dari situ”
Karena kurang
setuju dengan sikap yang menggurui, Agus Salim pernah meminta Ahmad Dahlan dan
Hasyim Asy’ari, untuk mendidik santri agar tidak mendewakan guru. Menurutnya
kultus individu terhadap guru akan membuat umat menjadi jumud. Alih-alih ingin
membebaskan orang sesuai pesan Islam, taklid buta malah membuat umat semakin
bodoh dan jauh dari nilai-nilai agama.
Adiknya
Menganut Katolik
Chalid Salim
adalah adik kandung pahlawan nasional yang juga ulama terkemuka di zaman
perjuangan kemerdekaan Kiai Haji Agus Salim. Suatu hari Chalid meyakinkan Peter
bahwa keputusannya masuk Katolik sudah dipikirkan secara masak. Pada 26
Desember 1942, Chalid dibaptis.
Chalid mengaku
bahwa tak ada anggota keluarganya termasuk Agus Salim yang gusar atas
pilihannya. Bahkan Agus Salim mengucap syukur atas pilihannya tersebut.
"Aku
bersyukur bahwa Anda akhirnya percaya pula kepada Tuhan. Dan pilihanmu tentu
sudah menjadi takdir Ilahi," kata Agus Salim kepada Chalid.
Dalam sebuah
kesempatan Agus Salim pernah ditanya oleh seorang warga Belanda "bagaimana
itu, adik Anda masuk agama Katolik?" kata warga Belanda tersebut.
Agus Salim pun
menjawab dengan santai, "Alhamdullilah, ia sekarang lebih dekat dengan
saya".
"Mengapa Anda
malah berterima kasih kepada Tuhan?" tanya orang Belanda itu semakin
keheranan.
"Dia dulu
orang komunis, tidak percaya Tuhan, sekarang dia percaya Tuhan," jawab
Agus Salim.
Suradi, penulis
buku Grand Old Man of the Republic: Haji Agus Salim dan Konflik Politik Sarekat
Islam menyebut, "Soal agama kan kembali kepada hidayatullah. Rasulullah
Muhammad pun tak bisa memaksakan semua orang terdekat yang dicintainya memeluk
Islam," kata Suradi.
Memimpin
Adalah Menderita, Bukan Menumpuk Harta
Sebagaimana
kutipan beliau yang terkenal bahwa “memimpin adalah menderita, bukan menumpuk
harta”, beliau menjalani hidupnya dengan segala kesederhanaan. Sebagai seorang
Menteri Luar Negeri dan perwakilan tetap Indonesia di PBB, beliau tidak malu
berjualan minyak tanah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarga.
Pindah-pindah
kontrakan dari gang satu ke gang lainnya sering dilakukan beliau dan keluarga. Suatu
hari hujan, atap rumah bocor dan anak-anak mulai mengeluh. Tapi Zaitun Nahar,
ibunya anak-anak membawa ember untuk menampung air bocor dan mengajak anak-anak
main perahu kertas di atasnya. Lalu anak-anak ceria lagi.
Dikisahkan pula
ketika salah satu anak Agus Salim wafat. Saat itu ia tidak memiliki uang untuk
membeli kain kafan. Seseorang menawarkan untuk membeli kain kafan untuk
membungkus jenazah. Namun Agus Salim meraih taplak meja dan kelambu, menolak
pemberian kain kafan baru.
“Orang yang masih
hidup lebih berhak memakai kain baru,” kata Agus Salim. “Untuk yang mati,
cukuplah kain itu.”
Komentar
Posting Komentar