Saya menyadari betapa banyaknya batasan ketika kita ingin menulis karya sastra. Itu membuat saya merasa terkekang. Seperti bagaimana sebuah tulisan tak boleh mengandung SARA. Apa yang dimaksud di sini? Apakah karya seperti Da Vinci Code itu menurut aturan orang Indonesia dianggap SARA? Sebab di novel tersebut disinggung tentang keturunan Yesus yang masih hidup sampai masa ini. Kemudian apakah apabila kita menceritakan pembunuhan yang didasarkan pada kesalahan interpretasi pembunuh terhadap isi ayat-ayat dalam kitab tertentu itu juga SARA? Padahal plot cerita seperti ini di Negara lain malah sampai dibuat film. Lalu sebuah tulisan juga tak boleh mengandung unsur LGBTQ. Saya tidak membenarkan apalagi menormalisasi dan meromantisasi LGBTQ. Namun menurut saya bila sebuah karya menceritakan hal baik dari itu, misalnya seseorang yang berusaha keras untuk menyembuhkan diri (maaf, saya memang menganggap ini sebagai penyimpangan yang seharusnya bisa disembuhkan alias penyakit) dari hal
Saya senang menulis. Namun, baru tahun ini saya dengan serius membulatkan niat untuk menjadi penulis dengan cara menerbitkan buku, mengikuti kompetisi menulis, menulis di wattpad, mengirim tulisan di media online dan kertas, dll. Saya heran juga, kenapa saya memutuskannya sekarang. Sekarang saat saya sedang sibuk-sibuknya dengan rumah tangga yang baru seumur jagung dan anak yang masih sangat kecil. Padahal tahun-tahun sebelumnya saya memiliki lebih banyak waktu luang untuk mewujudkan mimpi saya menjadi penulis. Salah satu pendorongnya adalah bagaimana saya melihat teman-teman saya menerbitkan buku-buku mereka. Keren. Singkat cerita saya juga melihat teman-teman saya membagikan cerita mereka mengikuti kelas-kelas kepenulisan. Suami saya menyarankan saya untuk mengikuti kelas kepenulisan juga. Maka sekarang saya menurutinya. Bukan karena semata-mata disuruh suami, tapi saya juga memang tertarik dan penasaran dengan kelas kepenulisan yang diadakan penerbit. Sampai hari ini ada dua